Women in Action

Widasari Dari Perawat Biasa Melatih Ribuan Ahli Perawatan Luka

Puanpertiwi.com-Widasari awalnya seorang perawat biasa di RS Kanker Dharmais. Sebagai perawat di sana ia sering melihat pasien kanker payudara atau penyakit-penyakit kronis yang menimbulkan luka, tak terawat dengan baik, bahkan kadang karena lukanya, tangan atau kaki harus diamputasi. Padahal jika perawatannya benar bisa jadi tak perlu amputasi.

Wida memulainya di rumah sakit tempatnya bekerja. Awalnya menangani pasien kanker yang tangannya sudah menghitam dan harus diamputasi. Pasien itu menolak amputasi karena ingin meninggal dengan tubuh utuh dan cantik. Wida mencoba menanganinya dengan cara yang benar hingga ia tak perlu jalani amputasi sehingga ia bisa meninggal sesuai keinginannya.
Begitu pula dengan pasien-pasien lainnya. Luka akibat operasi kanker payudara, luka diabetes, pasien dengan buang air tak terkontrol (inkontinensia), bab melalui perut (stoma) dan sebagainya. Keberhasilan itu membuatnya dipercaya mendirikan Pusat Perawatan Luka. Selanjutnya ia ditugaskan mengikuti program Enterostomal Therapy Nurse Education di Hongkong, dan sepulang dari sana bisa melatih para perawat lebih baik dalam perawatan luka
”Kalau penanganannya benar, luka berat bisa kering dalam dua minggu.. Saya pernah menangani anak kecelakaan ketabrak tronton. Bokongnya luka parah, orangtuanya sudah habis ratusan juta. Ketika kami tangani, saya sampaikan kira-kira biayanya 3 – 10 juta, alhamdulillah kering dan sembuh.”
Begitupula pasien yang harus bab lewat perut (stoma). kalau tidak dirawat benar,menimbulkan bau, penderita malu pada orang sekitar juga sulit menjalankan hubungan seksual. Oleh Wida dilakukan perawatan serta celana khusus dengan lubang di bagian bawah yang memudahkan pasien melakukan kewajibannya.
Terpanggil untuk menangani pasien luka lebih luas, Wida memutuskan melepaskan kariernya di PNS yang telah ditekuni selama 20 tahun. Ia merasa harus fokus menularkan ilmunya melalui pelatihan secara mandiri. Ia pun bisa berkeliling ke daerah-daerah untuk melatih para perawat khusus luka, stoma dan inkontinensia.Wida sendiri diakui kompetensinya sampai dinobatkan sebagai Ketua Asosiasi Perawat Terapi Enterostomal (Apetna) Asia Pasifik.
Karena kebutuhan makin meningkat ia mendirikan Wocare Center untuk menjamin jika terjadi risiko. Kliniknya yang berada di Bogor, dinobatkan sebagai satu-satunya praktik keperawatan mandiri se-Asia.
Melihat banyaknya
Terpanggil untuk mengatasi pasien luka lebih luas lagi, ia keluar dari tempat kerjanya, dus berarti meninggalkan karier PNS selama 20 tahun. Wida mendirikan …

Meski tergolong perawat baru di RS Dharmais, ia memberanikan diri mengajukan peningkatan pelayanan perawatan luka. Bersyukur pimpinannya memahami sehingga ia diizinkan membuka Pusat Layanan Luka. Wida kemudian Studi khusus mengenai perawatan luka, stoma dan inkontinensia di sana membuatnya terbuka bahwa tugas perawatan itu sangat serius.
”Karena yang bisa menyentuh, memandikan, mengganti baju, bahkan memijat, memeluk hanya perawat. Dokter tidak boleh, hanya boleh memeriksa dan membuat resep. Begitu juga psikolog, hanya konsultasi saja. Sayangnya di rumah sakit perawat hanya jadi asisten dokter, pemegang status, kurang melakukan tugas keperawatan,” cerita ibu 3 putra Irfan, Irsyal dan Irsyad itu.
Berbekal keilmuan praktis baru itu Wida terpacu melakukan lebih baik dan menularkan ilmunya pada perawat-perawat di timnya. Pasien yang harus ditangani dan dirawat lukanya makin banyak, dan dengan kondisi luka sudah parah, jadi borok. Namun dengan penanganan yang tepat, bisa pulih sesuai perkiraan waktunya. ”Pada dasarnya perawatan luka itu mudah dan simpel. Dibersihkan dulu analisa derajatnya, kemudian diberi salep dan balut. Kalau dirawat secara tepat, 10 – 14 hari kemudian kulit rusak akan mengelupas kulit baru tumbuh.”
Pernah ia mengatasi anak yang kecelakan terkena tronton. Bokongnya luka parah. Orangtuanya sudah mengobati hingga menghabiskan biaya 1,5 miliar belum juga sembuh. Luka besar tetap menganga. Ketika ke kliniknya, Wida bilang sanggup merawat lukanya, paling biayanya 3 – 10 juta. ”Bapaknya langsung setuju. Alhamdulilah lukanya sudah kering dan sembuh.”

Dari keterpanggilan menangani perawatan luka, Widasari Sri Gitarja akhirnya nekad
keluar dari PNS yang sudah digeluti selama 20 tahun. Ia fokus pada perawatan beragam luka berat, akut dan kronis, yang selama ini tidak ditangani dengan tepat. Upayanya telah menginspirasi ribuan orang untuk belajar padanya dan menerapkannya di seluruh Indonesia.
Seorang perempuan baya, penderita kanker pasien RS Dharmais, dirujuk ke Pusat Pelayanan Luka rumah sakit. Kondisinya, satu tangan hitam dan harus diamputasi dari pangkal lengan. Tetapi sang pasien tidak mau diamputasi. Ia ingin meninggal dalam kondisi utuh dan ketika disemayamkan bisa cantik dengan tangan berdekap.
Secara medis sulit memenuhi permintaannya. Dokternya kemudian mengoper ke Widasari untuk perawatan tangannya. Setelah beberapa lama dirawat, kondisi kulit dan tangan pasien tersebut membaik hingga tidak perlu amputasi, kecuali jari tangannya yang tidak bisa dipertahankan..
Itu kejadian 20 tahun silam. Saat itu Wida berada di Bagian Pelayanan Luka di Dharmais. ”Waktu itu dokternya tanya, bisa nggak merawat ibu ini? Saya bilang bisa. Ditanya lagi berapa lama, saya jawab 3 bulan lah bisa pulih. Alhamdulillah pulih. Tangannya tidak perlu amputasi. Ibu itu meninggal karena penyakitnya sudah parah sekali, tapi disemayamkan dengan kondisi sesuai diinginkannya. Tangan bisa sedekap dan dipakaikan baju perawat sesuai permintaannya,” kenangnya.
Latarbelakang Widasari adalah perawat, lulusan Politeknik Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Namun ia bukan perawat biasa, lantaran ia mengkhususnya pada penanganan luka, bahkan luka yang kebanyakan dihindari perawat umumnya seperti yang sudah memborok.

MENANGANI B3 YANG DISEPELEKAN
Betapa banyak pasien menderita luka besar dan berat setelah operasi, entah itu akibat kecelakaan atau kanker payudara atau diabetes. Belum lagi stoma atau buang air melalui perut serta inkontinensia atau ketidakmampuan orang menahan dari buang air besar maupun kecil. Bila mereka ke rumah sakit, luka hanya dilihat saja, kemudian meminta perawat membersihkan, memberi obat dan membalutnya. Seringkali penanganan tidak tepat sehingga luka pun tidak sembuh-sembuh hingga harus amputasi. Nah, kalau stoma yang baunya bisa ke mana-mana? .
Itulah yang banyak dilihat Widasari pada pasien pasca operasi di rumah sakit tempatnya bekerja. Padahal luka tak sembuh-sembuh, sakitnya mengganggu, begitupula yang stoma baunya menyengat, akan membuat stres dan mengganggu fungsi hidup. Ia tergerak meningkatkan kualitas hidup pasien. Bisa menjalankan pekerjaan dengan baik, bersosialiasi dan sebagainya.
Seorang pria tua usia 96 tahun datang dengan keluhan stoma atau pembuangan bab lewat perut.Tentang inkontinensia atau ketidakmampuan orang mengontrol buang air besar dan kecil, demikian juga. Bisa dirawat dan ditangani, tegas Wida. ”Apalagi kalau yang mengalami orang muda, baru habis melahirkan anak pertama sudah punya masalah kontinensia, kan kasihan. Malu sama pasangannya. Ini juga banyak kasusnya. Sekali lagi, dengan perawatan tepat, dari mulai latihan fisik sampai terapi elektrik, bisa diatasi,” jelas Wida. ”Makanya kami menyebut kerja di sini B3, bukan bintang biasa, borok, berak, beser, haha….”

STRES BILA HADAPI PENDARAHAN
Yang paling sulit ditolong dan membuatnya stres adalah penanganan pendarahan (bleeding). ”Kalau sudah bleeding kami semua stres, karena sulit menolongnya. Beberapa pasien yang dalam perawatan meninggal di depan kami,” katanya sedih. Ia masih ingat seorang gadis muda, akan menikah dengan tentara, menderita kanker. Ia terpaksa harus dikemoterapi meski tindakan itu berisiko. Benar saja, usai kemo, ia mengalami pendarahan.
”Kami berusaha keras mengatasi bleeding sambil berdoa. Perdarahannya hebat, akhirnya tidak bisa kami tolong. Waktu sedang sibuk menolongnya, kami para perawat melihat dia duduk di ujung dengan tenang. Itu pengalaman luar biasa.”
Hal sama terjadi pada seorang pria penderita kanker paru di kliniknya. Ketika batuk dan berdarah. Segera kami bawa ke rumah sakit untuk penanganan. ”Di RS hanya diperiksa, dikasih obat, pulang. Sampai rumah ia batuk lagi, perdarahan lagi, kami dipanggil, namun sudah tidak tertolong,” kisahnya. ”Karena kami ini perawat, perawatan saja bukan mengobati, sangat stres kalau ada pasien yang alami pendarahan.”

LATIH TENAGA AHLI SECARA MANDIRI
Makin banyak pasien, Wida pun harus banyak melatih perawat agar meningkat pengetahuan dan cara perawatannya. Apalagi kemudian beberapa rumah sakit mendengar kiprahnya, mereka merujuk pasien atau mengutus perawat untuk belajar penanganan luka padanya. Sayangnya meski sudah belajar, banyak sekali tantangan yang dihadapi perawat yang kembali ke rumah sakitnya. Sulit menerapkan ilmunya karena kendala birokrasi.
Kalau tingkat Pasifik, ada Australia. Lebih dari itu, Wida mengaku bangga dan bersyukur, praktik serta pelatihan keperawatannya, ikut mendorong lahirnya Undang-Undang Keperawatan yang baru kemudian PP Fasyankes mengenai praktik mandiri keperawatan.
Muridnya yang mendapat pelatihan dan bersertifikasi darinya sudah lebih dari 8000 orang, tersebar di seluruh Indonesia. Ia pun tak sendiri lagi mengisi pelatihan. Sekitar 30-an Winers (tenaga pengajar) juga tersebar di beberapa daerah, sudah siap dengan keahliannya. (Dewi Yamina/Fotografer Turida Wijaya & Koleksi Pribadi)

Leave a Response