Culture

Tradisi Petekan, Tes Kesucian Ala Suku Tengger Wajib Untuk Remaja Putri & Para Janda

Puanpertiwi.com-Suku Tengger yang tinggal di sekitar pegunungan Tengger, Malang, Jawa Timur, memiliki tradisi unik. Yakni tradisi petekan, untuk mengetes atau mencari tahu ada tidaknya gadis atau janda yang melanggar kesuciannya. Jika melanggar alias tidak suci akan segera dinikahkan berikut membayar denda yang sudah diatur sukunya.

Tradisi unik tersebut berlangsung sejak leluhur Suku Tengger berabad-abad silam, hingga sebagian menetap di Desa Ngadas. Ada sekitar 1.800 an warga suku yang tinggal di desa yang disebut-sebut merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa itu.

Inti dari tradisi petekan itu bertujuan untuk mencegah agar tidak terjadi hubungan seks dan kehamilan di luar pernikahan. Bagi masyarakat Tengger, seks adalah sesuatu yang sangat sakral. Nah, tradisi petekan ini dibikin dalam rangka menjaga kesakralan seks itu.

Dalam menjalankan upacara dukun bayi akan meraba dan menekan perut para anak gadis dan perempuan untuk memeriksa keperawanan atau ada-tidaknya kehamilan.Yang ditekan adalah bagian perut di antara pusar dan kemaluan.

Tradisi ini dilakukan setiap tiga bulan sekali, dilangsungkan pada malam hari sekitar pukul 19.00 – 21.00. Tempatnya di rumah Pak Legen, pengurus adat. Peserta tradisi yang harus ikut adalah para perempuan yang sudah beranjak dewasa namun belum menikah serta para janda yang masih dalam usia subur.
Adakalnya petekan diadakan sebelum 3 bulan. Terutama jika ada tanda-tanda alam. Yakni, ayam berkokok tengah malam atau ada jejak-jejak serigala. Hal itu dipercaya, leluhur mengingatkan sukunya. Dalam kondisi itu, Pak Legen atas perintah dukun adat akan langsung mengadakan petekan. Kalau ternyata memang ada yang hamil di luar nikah. yang bersangkutan akan diberi sanksi dan gangguan alam serta penyakit yang sebelumnya menyerang akan hilang dengan sendirinya.

Upacara petekan sangat dipatuhi oleh masyarakat Tengger. Orang tua akan mendorong anak-anak gadis mereka untuk mengikuti. Yang tinggal di luar desa atau sedang merantau, mereka harus pulang. Bahkan, aparat desa akan diterjunkan untuk menjemput warganya yang berada di luar Ngadas, misalnya yang bekerja di Kota Malang, Surabaya bahkan Jakarta
Pada waktu yang ditentukan, biasanya pada bulan Juli, Oktober, Januari dan April, atau bisa juga pada waktu lain karena tanda-tanda alam, tradisi tersebut dijalankan.

Dukun bayi yang bertugas memeriksa bisa mendeteksi kehamilan pada usia kehamilan sangat dini, usia 1,5–2 bulan. Jika berdasar hasil pengecekannya ada yang hamil di luar nikah, akan berlaku hukum adat. Bila berstatus gadis, pria yang telah menghamilinya akan dicari untuk dinikahkan secara adat maupun agama. Namun sebelumnya pasangan itu akan didenda membayar kepada desa berupa semen, masing-masing 50 sak semen. Tidak peduli apakah yang terkena denda tersebut dari keluarga mampu atau dari keluarga tidak mampu.

Hukuman yang lebih berat akan dijatuhkan kepada perempuan hamil di luar nikah dengan pria yang sudah berkeluarga. Jika itu yang terjadi, si pria akan didenda 100 sak semen, sedangkan perempuan 50 sak semen.

Yang paling berat lagi adalah ada sanksi moral berupa dipermalukan dan dikucilkan. Yakni, keduanya harus menyapu jalanan desa hingga bersih, mulai dari satu ujung ke ujung lain yang sudah ditentukan Dukun Adat. Setelah itu pasangan akan dinikahkan, tapi hanya secara adat, tidak secara agama. Umur pernikahan tersebut pun hanya sampai bayi dilahirkan.

Konon hukum adat petekan cukuf efektif dan dipatuhi. Selama sepuluh tahun terakhir misalnya, hanya ditemukan beberapa saja kasus kehamilan di luar nikah.(*)
Laporan: Rdh

Leave a Response