Women in Action

Felicitas Tallulembang, Dokter Yang Risau Melihat Masih Banyak Rakyat Miskin

Jakarta, puanpertiwi.com – Felicitas Tallulembang resmi menjabat anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra melalui PAW sisa masa keanggotaan 2014-2019. Felicitas menggantikan almarhum Andi Nawir Pasinringi dari Dapil Sulawesi Selatan III. Kerisauan melihat keadaan masih banyak masyarakat yang bergelut dalam kemiskinan membawa dr Felicitas Tallulembang Rudiyanto Asapa merasa perlu menceburkan diri dalam dunia politik.

Bulan September 2017 lalu, DPR RI melakukan pelantikan anggota DPR RI Antar waktu. Pelantikan dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Bidang Koreku Taufik Kurniawan di dampingi Wakil Ketua DPR Agus Hermanto di Ruang rapat paripurna, Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta. Felicitas menggantikan Andi Nawir Pasinringi yang meninggal beberapa bulan lalu. Ia berhak menggantikan Andi Nawir karena meraih suara kedua pada Pileg 2014 lalu.

Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra ini menempati pos di Komisi IV DPR RI. Dokter asal Tana Toraja ini, akan mengemban tugas pada Komisi yang mempunyai ruang lingkup kerja di bidang Pertanian, Pangan, Maritim dan Kehutanan. Felicitas Tallulembang mengatakan hal dan fokus pertama dirinya sebagai anggota dewan adalah menyelesaikan masalah yang ada di Daerah Pemilihannya (Dapil), ungkapnya. “Di tempat saya berasal itu, kadang-kadang masih susah mendapatkan pupuk. Selain itu juga banyak bibit tanaman yang tidak sesuai dengan iklimnya diberikan dari Pemerintah yang pada akhirnya justru jadi sia-sia karena malah tak menghasilkan apa-apa”, ungkapnya.

Felicitas juga mengatakan bahwa masalah yang ada itu adalah perlunya sosialisasi dan edukasi dari Pemerintah setempat pada masyarakat tentang hal-hal yang Pemerintah berikan pada mereka. “Harus Pemerintah setempat memberikan penyuluhan pada mereka misalnya saat memberikan bibit. Jangan asal memberikan saja. Karena bibit tanaman itu kan beda-beda gunanya di tiap iklimnya”, tambah Felicitas.

Dari Dokter ke Politisi

Kerisauan melihat keadaan masih banyak masyarakat yang bergelut dalam kemiskinan membawa dr Felicitas Tallulembang Rudiyanto Asapa merasa perlu menceburkan diri dalam dunia politik. Sepuluh tahun menjadi kepala puskesmas di kampung nelayan di Sulawesi Selatan (Sulsel)( memberinya pengalaman batin yang amat berarti dalam melihat kondisi masyarakat. Pengalaman itu makin kaya dan beragam saat menjabat kepala Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sinjai.

Kenyataan itu membuat jalan hidup dokter lulusan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar ini berbelok arah. Dia memilih berhenti dari pegawai negeri sipil (PNS), meninggalkan jabatan kepala rumah sakit, untuk memasuki dunia baru; politik praktis. Kedudukan suaminya, Andi Rudiyanto Asapa sebagai bupati Sinjai, memperkuat keyakinannya. “Saya mundur karena suami jadi bupati. Saya rasa tidak etis dan tentu akan banyak kalangan yang menilai ada kepentingan politik,” ucap Sita, sapaan akrab perempuan kelahiran Rantepao, Tana Toraja, 6 November 1959 ini.

Dalam wawancara, Fellicia mengatakan bahwa ia terjun kedua politik sebagai kerisauannya. “Ya, sangat risau. Dulu saya sebagai dokter umum yang bertugas di puskesmas yang tidak pernah membuka praktek umum di sebuah daerah yang miskin sekali. Pengalaman saya sebagai dokter, bahwa kebahagiaan yang tiada taranya itu bukan pada materi tapi bagaimana keikhlasan bisa melayani masyarakat dikala susah. Kalau kita ikhlas, itulah yang berharga di dunia ini, bahkan dibanding ketika saya jadi kepala Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) atau menjadi ibu Bupati, sangat jauh sekali. Karena dari itu, akhirnya saya berpikir harus masuk dunia politik, karena masyarakat kan harus diatur dengan peraturan daerah dan itu adanya di dunia politik.

Sebagai dokter umum Fellicia tercatat pernah menjadi kepala puskesmas selama 9 tahun dan kemudian menjadi kepala RS Sinjai 10 tahun. Di sana ia membuat sistim semacam jamkesda yang akhirnya dimasukan dalam peratudan daerah (perda) pada tahun 2003. Sementara nasional baru ada 2005, meski belum sempurna, tapi seluruh masyarakat Kabupaten Sinjai itu tidak lagi memikirkan biaya ketika sakit. “Saya mundur karena suami jadi bupati. Saya rasa tidak etis dan tentunya akan banyak kalangan yang menilai ada kepentingan politik. Jadi meski baru mencapai golongan pangkat IV b yang seharusnya bisa hingga IV d. Tapi bukan karena itu juga, saya keluar dari PNS, tapi setelah saya mempelajari, saya lebih ingin memperjuangkan kepentingan rakyat. Akhirnya saya masuk sebuah partai politik, meski waktu itu saya sudah menduga akan tidak lolos, namun saya jadikan sebagai tempat belajar berpolitik. Bahkan waktu Pemilu 2009 lalu, saya sengaja masuk di daerah yang bukan yang saya tidak kenal sebelumnya. Karena memang saya ingin memulai dari bawah dengan kerja keras.

Seumur hidupnya sebagai dokter ia tidak membuka praktek umum. Tahun 1990 ia bekerja di puskesmas di daerah nelayan dan miskin, dengan gaji 80 ribu. “Di puskesmas itu masyarakatnya sangat miskin, di daerah Galesong yang 70 persen nelayan, kebetulan saya menjadi dokter perempuan yang pertama masuk. Ada satu kampung kalau siang lelakinya pada tidur, kalau malam entah kemana. Saya selalu bawa sendiri mobil menyusuri kampung-kampung, kalau tidak ujan dijemput, tapi kalau ada pasien-pasien di pesisir pantai, saya terpaksa pakai motor dibonceng perawat. Sampai sekarang masyarakat di situ masih mengenal saya. Bahkan sampai sekarang kalau lebaran mereka kirim ketupat, walau saya ada atau tidak ada di rumah. Saya rasa yang paling berarti dalam hidup saya adalah pada saat menjadi dokter puskesmas. Gaji dari pemerintah yang kecil, tapi saya lebih sering mendapatkan kiriman dari masyarakat. Padahal saya kanalergi ikan, tapi mereka sering membawakan ikan, ayam dan sayuran sebagai ucapan terimakasih mereka terhadap saya. Akhirnya kalau sampai rumah saya bagi-bagikan itu ikan ke pada tetangga. Kebetulan puskesmas saya rawat inap sehingga pasien yang ditolak Rumah Sakit kerap ditampung di puskesmas,” ujarnya

Leave a Response